Hubungan Pendidikan Islam dengan Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi

Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat, maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:
  1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah.
  2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu.
  3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsur yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
  1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
  2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
  3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
  4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.[1]

Dilihat dari kerangka keilmuan, sosiologi memiliki sudut pandang, dan metode serta susunan yang tertentu. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa obyek telaah sosiologi adalah manusia dalam kelompok, dengan memandang hakekat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sosiologi pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan.[2]

Perspektif sosiologi
Dalam mengkaji suatu masyarakat, sosiologi mengunakan sejumlah asumsi yang disebut sebagai perspektif, pendekatan, atau kadang disebut paradigma. Ketiga-tiganya merupakan cara sosiologi dalam mempelajari masyakat. Memang, di antara perspektif tersebut berbeda, bahkan kadang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Namun, sekali lagi perspektif ini hanya merupakan cara pendekatan untuk mengkaji masyarakat. Beberapa literatur perspektif ini tak jarang disebut sebagai teori, misalnya teori konflik, teori fungsionalisme, teori interaksionalisme, dan lain sebagainya dengan masing-masing tokoh pendukungnya Beberapa perspektif dalam sosiologi, antara lain Perspektif Evolusi, Perspektif Interaksionis, Perspektif Fungsional, Perspektif Tatanan, dan Perspektif Konflik.[3]
a.    Perspektif Evolusi
Perpektif evolusi merupakan pandangan teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Pandangan seperti ini didasarkan pada karya Auguste Comte, Herbert Spencer, dan Ibnu Khaldun. Para tokoh ini melihat pada pola perubahan dalam masyarakat. Mereka mengkaji masyarakat dengan menitikberatkan pada evolusinya.
b.   Perspektif Interaksionis
Pandangan ini mengkaji masyarakat dari interaksi simbolik yang terjadi di antara individu dan kelompok masyarakat. Tokoh yang menganut pandangan interaksionis misalnya G.H Mead dan C. H Cooley. Mereka berpendapat bahwa interaksi manusia berlangsung melalui serangkaian simbol yang mencakup gerakan, tulisan, ucapan, gerakan tubuh, dan lain sebagainya. Pandangan ini lebih mengarah pada studi individual atau kelompok kecil dalam suatu masyarakat, bukan pada kelompok-kelompok besar atau institusi sosial.
c.    Perspektif Fungsionan
Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah jaringan teroganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Institusi sosial dalam masyarkaat mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling mendukung. Masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem stabil yang cenderung mengarah pada keseimbangan dan mejaga keharmonisan sistem. Pandangan ini banyak dianut intelektual Orde Baru dalam mendukung kekuasaan pemerintah.
d.   Perspektif Konflik
Pendekatan ini terutama didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Teori konflik melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di atara kelompok atau kelas. Dalam pandangan teori konflik masyarakat diakuasai oleh sebagian kelompok atau orang yang mempunyai kekuasaan dominan. Selain Marx dan Hegel tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser. [4]

John Dewey mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.[5]
Durkheim berpendirian bahwa pemikiran bergantung pada bahasa dan bahasa bergantung pada masyarakat. Jadi masyarakat menghasilkan instrumentalitas dasar bagi pemikiran.  Sebagai tambahan pula, dia berpendapat bahwa kategori-kategori fundamental bagi kognisi hanyalah kategori-kategori sosial sendiri yang telah di transformasikan dan telah disaring. Demikian pula halnya Dewey menganggap  individu sebagai proses perkembangan. Ia tertarik dengan proses sosial yang disajikan oleh revolusi industry. Diperlukan adanya kurikulum baru yang cocok dengan praktik seni dan disiplin dalam kehidupan industri. Jika manusia ingin hidup dalam masyarakat maka ia harus belajar sebagai seorang warga negara yang tumbuh di dalam sebuah interaksi dan hubungan yang kompleks. Melalui pendidikan individu, mereka diajarkan untuk membayangkan apa yang mengikuti dirinya dalam sebuah proses yang menghasilkan batasan-batasan perkembangan. Pendidikan adalah instrument penyesuaian sosial dan instrument politik serta rekonstruksi moral, sama seperti pemikiran yang merupakan instrument penyesuaian diri di dunia.[6]
Sosialisasi juga merupakan tahapan penting dalam pendidikan. Seorang manusia yang tidak bersosialisasi, tidak akan mencapai perkembangan yang sama dengan manusia sosialis. Berger mendefinisikan sosialisasi dengan proses seorang anak untuk menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Kondisi sosial budaya juga merupakan faktor penting dalam pendidikan. Karena semakin beradab kondisi sosial di suatu daerah akan semakin memudahkan proses pendidikan. Durkeim, mengemukakan bahwa bahasa adalah proses pendidikan yang paling penting. Bahasa adalah hasil cipta manusia. Bahasa juga merupakan kunci sumber informasi. Dewey mengartikan pendidikan adalah suatu tranmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses modifikasi watak, hingga menjadi suatu keadaan pribadi.[7]

Hubungan pendidikan Islam  dengan masyarakat dalam perspektif sosiologi
Indikasi globalnya ajaran al-Quran yang membuktikan bahwa Islam tetap up to date, aktual sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia di dunia, dapat dipelajari dari beberapa pernyataan dalam al-Quran sendiri. Pertama, panggilan Allah kepada seluruh ummat manusia (yaa ayyuhan naasu) adalah bukti autentik dalam kitab suci Islam bahwa ajaran Islam berlaku universal untuk semua manusia. Meskipun al-Quran diturunkan di tanah Arab, nabi Muhammad juga berbangsa Arab, tetapi tidak ada satupun panggilan Allah dalam ayat al-Quran yang ditujukan khusus untuk orang Arab (tidak ada ayat yang diawali dengan kalimat yaa ayyuha al-“arabiyyu). Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa al-Quran sebagai sumber pedoman utama ajaran Islam, diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia hudan li al-naasi). Berbeda dengan pernyataan al-Kitab atau Bibel bagi kaum Nasrani yang panggilannya khusus ditujukan hanya untuk “domba-domba Israil”. Kedua, perintah Allah dalam al-Quran menyangkut ibadah shalat, cara wudhu dan cara berpakaian, sama sekali tidak rinci-melainkan global dan universal. luasnya ajaran Islam. Islam mengajarkan agar umat menyayangi sesama, termasuk binatang sekalipun. Karena itu orang yang menyiksa binatang peliharaan akan mendapat siksa, dan umat Islam diajarkan supaya menyembelih hewan dengan cara yang baik, memelihara tumbuhan serta lingkungan agar tidak rusak. Begitu luas dan mulianya ajaran Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al’alamin).[8]
Ibnu Khaldun memandang ilmu dan pendidikan sebagai satu aktifitas yang semata–mata bersifat pemikiran dan perenungan serta jauh dari aspek pragmatis dalam kehidupan. Ia memandang ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya didalam tahapan kebudayaan, akal mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang penting baginya di dalam kehidupannya yang sederhana pada periode pertama pembentukan masyarakat, lalu lahirlah ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan masa kemudian lahir pula pendidikan sebagai akibat adanya kesenangan manusia dalam memahami dan mendalami pegetahuan.[9]
Sebagai makluk sosial, manusia dalam kehidupannya membutuhkan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut terjadi karena manusia mengajarkan manusia yang lain, ketika sesuatu yang akan dilakukan tidak dapat dilakukan seorang diri. Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[10]
Interaksi antara manusia satu dengan lainnya selalu mempunyai motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masing-masing. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat bernilai edukatif apabila interaksi yang dilakukan dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai interaksi edukatif. Dengan konsep di atas, memunculkan istilah guru di satu pihak dan anak didik di lain pihak. Keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas dan tanggung jawab yang berbeda, namun bersama-sama mencapai tujuan.[11]
Manusia menjalani kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial. Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.[12]
            Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertingga.[13]
Shalat berjamaah secara sosiologis merupakan manifestasi dari kebersamaan, solidaritas dan integritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat manifestasi dari solidaritas sosial, rasa kemanusiaan yang adil dan bertanggung jawab, kepedulian-sense of crisis, dan berempati terhadap penderitaan atau kesusahan orang lain. Berpuasa merupakan upaya pengendalian diri dari tindakan yang melampaui batas dan demikian pula pada aspek ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Pada rukun iman, misalnya iman kepada Allah akan memberikan kontrol terhadap seorang muslim dalam kehidupan sosial masyarakat. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara mahkluk yang lain ciptaan allah SWT.salah satu kelebihan yang di miliki oleh manusia ialah manusia diberi akal pikiran dan nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat, jin dan binatang. Dengan akal inilah diharapkan manusia bisa menggelola bumi ini dengan baik, untuk melakukan tugas yang berat tersebut maka manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menyebabkan manusia menjadi objek pendidikan,atau mahluk yang membutuhkan pendidikan sebagai mana yang terdapat dalam Alquran. Dalam surah Al-baqorah ayat 31-32 yang artinya: Dan ingatlah ketika allah berfirman kepada malaikat “aku hendak menjadi kan kholifah di bumi “mereka berkata apakah engkau hendak menjadikan orang orang perusak dan menumpahkan darah di muka bumi,sedangkan kami selalu bertasbih memuji engkau”dia berfirman  “sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui . Dan dia mengajarkan nama –nama benda, kemudian dia perlihat kan kepada para malaikat “kata kan lah jika kamu orang  yang benar.(Al-Baqorah ayat 31-32 ).[14]
Dari ayat tersebut kita memperoleh  pengertian bahwa manusia adalah  mahluk yang bisa dididik dan diajar. Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi. Kewajiban untuk bersosialisasi inilah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Makhluk lain tidak pernah berpikir untuk membuat hidupnya lebih baik dari sebelumnya. Kainginan untuk berkembangng menuju arah yang lebih baik inilah yang kemudian menyebabkan manusia memerlukan pendidikan. Manusia adalah makhluk yang harus hidup bermasyarakat untuk kelangsungan hidupnya, baik yang menyangkut pengembangan pikiran, perasaan dan tindakannya serta agar dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan dalam lingkungan manusia. Interaksi antar manusia tumbuh sebagai suatu keharusan oleh karena kondisi kemanusiaannya seperti; kebutuhan biologis dan psikologis. Kondisi manusia tersebut menuntut adanya kerjasama dengan manusia lain. Kodrat manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial, menyebabkan timbulnya bentuk-bentuk organisasi sosial yang berdiri atas landasan simbiotik-sinergistik, saling memberi manfaat atas dasar tingkah laku fisik, bersifat otomatis dan merupakan komunikasi sosial.[15]


Referensi

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, bandung: 2005
Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005)
Dwi Nugroho Hidayanto, Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, (Jakarta: Transwacana Jakarta, 2007).
M. Ihsanudin,  2009, Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey, http://indekos.tripod.com/id4.html//
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2005
Paul B. Horton, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 2006
Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia, UPI, Bandung, 2009.
Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000).
Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Bulan Bintang, Jakarta: 1980



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. hlm.5
[2] Ahmad Hufad, Teori Sosiologi Pendidikan dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bag I Ilmu Pendidikan Teoritis, Imperial Bhakti Utama, Bandung, 2007, halm. 221-223
[3] Elly M. Stiadi dan Usaman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group. 2011. Hlm.25
[4] Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, Refika Aditama, Bandung, 2009, halm. 39
[5] Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000), halm. 194.
[7] Opcit. Hlm 201
[8] Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia, UPI, Bandung, 2009, halm. 8
[9] Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, Hlm. 535
[10] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, halm. 47
[11] Paul B. Horton, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 2006, Halm. 99
[12] M. Ihsanudin,  2009, Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey, http://indekos.tripod.com/id4.html//
[14] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hal 7.
[15] Dwi Nugroho Hidayanto, Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, (Jakarta: Transwacana Jakarta, 2007).
0 Responses

Posting Komentar

a
s