1.   Karya-Karya Abdul Hamid Al-Katib
Abdullah Hamid Al-Katib nama aslinya adalah Abdul Hamid bin Yahya, tidak dapat dipastikan kapan dan dimana ia dilahirkan, ada yang menuliskan bahwa Abdul Hamid dilahirkan di Syam (Syiria) dan meninggal dunia pada tahun 135 H/750 M. Dia adalah sekretaris Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayah yang diberi gelar Al-Katib.
Abdul Hamid Al-Katib adalah bekas budak Al-A’la bin Al-Aniri bin Luaiy. Para sejarawan tidak menyebutkan siapa guru-gurunya dan bidang ilmu apa saja yang ditekuninya. Hanya saja disebutkan bahwa Abdul Hamid Al-Katib banyak belajar kepada seorang ahli sastra dan politik. [1]
Dalam buku Al-Fikr At-Tarbawiy ‘Inda Ibnu Al-Muqaffa karangan Abdul Ashir Syamsuddin, ditemukan bahwa pemikiran Abdul Hamid terbagi tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
a.    Risalah fin nash hi wa lil ‘ahdi, membahas masalah bidang pemerintahan dan pedoman untuk para pemimpin. Risalah ini merupakan pedoman untuk menjadi pemimpin agar sukses membawa rakyatnya kepada keridhaan Allah SWT. Di sini Abdul Hamid menyebutkan beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuannya, yaitu :
1)      Meningkatkan kualitas diri dengan ilmu dan akhlak, taat kepada Allah, dan menahan hawa nafsu,
2)      Selalu meminta pendapat kepada orang yang lebih memiliki pengetahuan,
3)      Menghargai pendapat masyarakat karena kepada merekalah segala aturan dan kebijakan diterapkan,
4)      Hendaknya bermusyawarah terlebih dahulu di dalam mengambil keputusan yang akan diterapkan kepada masyarakat,
5)      Mengendalikan dan mengatur seluruh aparat pemerintahan, baik itu tentara, hakim, dan lain-lain.
b.      Risalah ‘ila Al-Kuttab, membahas tentang tugas seorang penulis atau sekretaris dalam kehidupan beragama, bernegara, dan bermasyarakat. Dalam risalah ini Abdul Hamid mengemukakan tugas seorang penulis dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, khususnya dalam tugas-tugas pemimpin Negara. Abdul Hamid berkata “…dengan perantara Anda, tugas-tugas kepala Negara dapat terlaksana dengan baik dan semua urusan dapat dijalankan dengan lancer, dan setiap pemimpin membutuhkan Anda dan mereka tidak akan dapat melaksanakan tugas dengan baik tanpa bantuan Anda”.
c.       Risalah fi Washif Al-A’khi, membahas masalah social kemasyarakatan. Dalam risalah ini Abdul Hamid menjelaskan bahwa persaudaraan adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap orang dan masyarakat pada setiap zaman. Terjalinnya persaudaraan di antara manusia menciptakan persahabatan yang erat, hati pun menjadi damai dan tenteram. Persaudaraan yang kuat akan menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap gangguan yang merusak keten-teraman hidup bagi masyarakat. Adapun landasannya yang pertama untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang tenteram dan damai adalah bertakwa kepada Allah SWT.[2]

Jadi Abdul Hamid Al-Katib ini mempunyai banyak guru dan bahkan tidak disebutkan satu persatu, beliau bekas budak Al-A’la bin Al-Aniri bin Luaiy. Dan banyak belajar pada ahli-ahli sastra dan politik, sehingga ditemukan pendapatnya atau pemikiran pendidikanya Islamnya.


2.   Pemikiran Abdul Hamid Al-Katib Tentang Pendidikan Islam
Dari ketiga risalah yang telah disebutkan diatas, yang lebih relevan dengan masalah pendidikan adalah Risalah ‘ila Al-Kuttab. Adapun pokok-pokok pikiran Abdul Hamid Al-Katib dalam risalah ini meliputi beberapa hal berikut :
a.       Tugas keagamaan dan kemasyarakatan bagi para penulis. Menurut Abdul Hamid Al-Katib, Allah menciptakan tingkatan manusia setelah para Nabi, Rasul, dan para Malaikat. Selanjutnya, menurut Abdul Hamid, Allah menjadikan para penulis termasuk golongan yang terhormat sebagai orang yang beradab, beretika, serta memiliki pengetahuan dan informasi, memiliki andil demi kebaikan pemerintahan dalam segala urusannya, karena nasihat-nasihatnya akan memperbaiki keadaan pemerintah sehingga pemerintah dapat membangun Negara dengan baik. Seorang kepala pemerintahan akan membutuhkan para cerdik pandai, dan suatu pemerintahan tidak akan pernah sempurna tanpa peran para sekretaris atau penulis.
b.      Kewajiban bersikap terpuji mengingat mereka dalam masyarakat. Seorang penulis harus mempunyai sikap terpuji dan sifat-sifat mulia lainnya, seperti pemaaf, adil, sabar, kuat dalam menjaga rahasia, tabah terhadap cobaan, dan menempatkan suatu perkara pada tempatnya.
c.       Bersikap memikirkan dan mengayomi masyarakat. Seoran penulis dituntut untuk berprilaku serta bergaul dengan baik pada orang lain, baik yang sejalan atau tidak dalam gerakannya. Bersikap lembut pada sesamanya, juga pada rakyat dan apalagi pada pejabat.
d.      Tidak melampaui batas dalam melaksanakan tugas dan kehidupan. Seorang penulis hendaknya serius dalam berpikir dan berusaha semaksimal mungkin dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga orang-ornag yang berkaitan dengan tulisannya akan merasa aman, dan lapangan sehingga terjalin persaudaraan. Tidak selayaknya bagi seorang penulis berlebihan dalam bersikap, berpakaian, berkendaraan, dan dalam hal makan dan minuman. Hindari bersikap berlebihan dan bergaya hidup mewah karena sikap demikian itu pada akhirnya akan membawa kepada kemiskianan dan kehinana.
e.       Berhati-hati dalam hal yang subhat. Bagi seorang penulis hendakny asederhana dalam bertutur kata, tidak berlebihan dalam mengungkapkan serta mempersiapkan seluruh dalil dalam menjawab pertanyaan, karena hal tersebut baik untuk dilakukan dan hendakny aia merendahkan diri kepada Allah dengan memohon petunjuk dan pertolongannya. Tidak sepantasnya bagi seorang penulis berkata tentang suatu tugas bahwa ia lebih mengetahui segala sesuatu dan lebih bertanggung jawabdari temannya.
f.        Berakhlak mulia, berbudaya dan berpendidikan memadai. Seyogianya para penulis memperdalam bidang agama dan mempelajari segala sesuatu yang patut dipelajari, kemudian mulailah mempelajari bahasa Arab. Para penulis juga hendaknya selalu memperbaiki dan mengoreksi tulisanny, karena itulah hiasan buku-buku.
g.       Saling mencintai dan menolong antar sesama. Apabila seseorang ada yang mendapat ujian maka berlakulah lembut serta berbuat baik kepadanya hingga perkara dan keadaannya pulih kembali. Seperti halnya apabila salah seorang ada yang diberhentikan aleh atasannya dari pekerjaan dan putus hubungan dengan teman-temannya maka kunjungi dan besarkan hatinya, ajak ia bermusyawarah dan mintalah penjelasan tentang pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya.
h.       Menyukai kemanfaatan dan kebaikan bagi rakyat dan orang banyak. Hendaknya penulis itu menjadi hakim dalam keadilan dan menjadi orang yang mulia di kalangan orang-orang mulia dan juga sebagai orang yang selalu menunaikan hak orang lain serta taat dalam membayar pajaknya. Hendaknya ia menjadi orang yang membangun negeri, bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan dapat menanggung penderitaan mereka. Penulis hendaknya menjadi orang yang merendah di dalam lingkungannya dan merasa bersahabat dan orang di sekitarnya.[3]

Jadi, pokok-pokok pikiran Abdul Hamid Al-Katib diantaranya : Tugas keagamaan dan kemasyarakatan bagi para penulis, Kewajiban bersikap terpuji mengingat mereka dalam masyarakat, memikirkan dan mengayomi masyarakat, Tidak melampaui batas dalam melaksanakan tugas dan kehidupan, Berhati-hati dalam hal yang subhat, Berakhlak mulia, Saling mencintai dan menolong antar sesama, dan Menyukai kemanfaatan dan kebaikan.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat diambil beberapa kesimpilan mengenai pemikiran Abdul Hamid Al-Katib tentang pendidikan adalah sebagai berikut :
1.      Abdul Hamid Al-Katib adalah seseorang yang terkenal sebagai katib atau penulis. Beliau pernah bekerja sebagai sekretaris pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik pada masa Bani Umayyah.
2.      Karya Abdul Hamid yang diketahui berupa beberapa risalah yang memuat masalah pemerintahan, tugas seorang penulis, dan masalah sosial kemasyarakatan.
3.      Pokok-pokok pikiran Abdul Hamid yang berkenaan dengan bidang pendidikan termuat dalam Risalah ila Al-Kuttab, yang berisi ulasan mengenai adab dan persyaratan bagi seorang penulis dalam berperilaku dan bersikap agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat, di antaranya mengetahui batasan tugas yang diembannya, berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata, dan terus belajar untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalamannya.


[1] Abdul Ashir Syamsuddin, Al-Fikr At-Tarbawiy ‘Inda Ibnu Al-Muqaffa, Al-Jahiz,Abdul Hamid Al-Katib, Beirut: Dar Iqra, tt., hlm. 140.
[2] Ibid, hlm. 155
[3] Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009, hlm: 83-89.
1 Response
  1. Sk Md Raihan Says:

    No words to thank for this wonderful work. I dont know weather it is original work or collected.but the work is truly informative and helpful.. appreciated and happy . (Although I dont know Idoneshian language, I have translated it to understand)


Posting Komentar

a
s