ANALISIS DATA KUALITATIF
A.      ANALISIS DATA
Metode analisis pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi, mengolah pesan suatu alat untuk mnegobservasi dan menganalisis prilaku komunikasiyang terbuka dari komunikator yang dipilih.
Kata”analisis” berasal dari prefik (awalan) ”ana” yang berarti “above” (diatas). Dan akar kata Yunani “Iysis” yang berarti “tobreak up or dissolve” atau memilah-milah. Data  adalah “ semua fakta yang dapat diamati seperti catatan interview, skor, hasil-hasil tes, dan rekaman yang darinya dapat ditarik pengertian-pengertian yang bersifat umum. Para peneliti memahami analisis data secara berbeda-beda sesuai dengan focus perhatian mereka dalam analisis tersebut. Secara teknis menurut Dey, Patton berpendapat bahwa analisis data adalah proses pengaturan urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dsn suatu urutan dasar.[1]
Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Dengan demikian, teknik analisis data dapat diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap data, dengan tujuan mengolah data tersebut menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi data maupun untuk membuat induksi, atau menarik kesimpulan tentang karakteristik populasi (parameter) berdasarkan data yang diperoleh dari sampel (statistik).
Kemudian analisis isi didefenisikan sebagai suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, objektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak. [2]
Jadi, Analisis adalah proses menyusun dan menggabungkan data ke dalam pola, tema, kategori, sedangkan penafsiran adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, dan mencari hubungan antara beberapa konsep. Penafsiran menggambarkan perspektif peneliti bukan kebenaran. Analisis dan penafsiran data dalam penelitian kualitatif pada dasarnya bukan merupakan hal yang berjalan bersama, keduanya dilakukan sejak awal penelitian.
Analisis data dilakukan agar data yang telah diperoleh akan lebih bermakna. Analisis data merupakan proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih  mudah dibaca dan diinterprestasikan. Analisis tersebut melibatkan kerja dengan data, mengaturnya, memisahkan kedalam unit-unit yang dapat dikelola, memadukannya, mencari-cari pola memenuhi hal-hal penting dan apa yang diketahui dan memutuskan apa yang akan disampaikan kepada orang lain. Untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah difahami.

B.  KUALITATIF
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Sehingga dalam memperoleh simpulan akhir pada suatu cakupan penelitian yang luas dapat terwakili (seperti populasi) dengan hanya menggunakan data-data hitungan angka.[3]
Penelitian kualitatif sifatnya deskriftif, karena data yang di analisis tidak untuk menerima atau menolak hipotesis , melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel.
Dalam penelitian kualitatif peneliti tidak dibimbing oleh aturan-aturan yang kaku dan tidak diperkenankan mempormulasikan data secara apriori. Tugas peneliti adalah mengumpulkan dan mengkategorisasikan data secara kasar dan memilah-milahnya kedalam beberapa unit. Jika dalam penelitian kuantitatif semua data yang relevan dianalisis dan disajikan melalui angka-angka, maka dalam penelitian kualitatif semua data yang relevan dianalisis dan disajikan melalui kata-kata.[4]
Penelitian kualitatif adalah penggambaran atau pendeskripsian cara-cara hidup, cara- cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti terkait dengan suatu gejala yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam perspektif ini ke-obyektifan dari penelitian kulitatif, justru dilakukan dengan menggunakan data subyektif (menurut perspektif pelaku yang diteliti).
            Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 14 ciri penelitian kualitatif yaitu:
1.       Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2.       Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
3.       Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4.       Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5.       Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6.       Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
7.       Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
8.       Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9.       Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
10.   Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
11.   Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
12.   Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
13.   Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14.   Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.[5]
C.  PERSIAPAN ANALISIS
Terhadap data kualitatif sebagaimana diuraikan di atas pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis kualitatif yakni dengan mengunakan proses berfikir induktif, untuk menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti. Induksi dalam hal ini dibuat bertolak dari berbagai data yang terhimpun, dengan selalu memperhatikan berbagai fakta yang teridentifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, proses penyiapan data untuk analisis agak berbeda. Menurut Dey, analisis data kualitatif adalah langkah-langkah sekuensel yang terjadi secara logis, mulai dari pertemuan pertama dengan data sehingga perumusan kesimpulan.[6]
Olek karena itulah Data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup penelitian. Data kualitatif dapat membimbing peneliti untuk memperoleh temuan yang tak terduga sebelumnya serta untuk membentuk kerangka teori baru. Data kualitatif membantu peneliti untuk melangkah lebih jauh dari kerangka kerja awal.
Setelah melihat penjelasan pengertian dan pendekatan penelitian kualitatif maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan langkah terakhir adalah menafsirkan dan atau memberikan makna terhadap data.
a.       Reduksi data
Reduksi data di artikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung setelah peneliti di lapangan, sampai laporan tersusun.[7] 
Reduksi data merupakan bagian dari analisis data dengan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan, dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan final dapat diambil dan diverifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasi dengan berbagai cara; seleksi, ringkasa, penggolongan dan bahkan ke dalam angka-angka.
b.      Pemrosesan Satuan (Unitying)
Satuan adalah bagian terkecil yang mengandung makna yang utuh dan dapat berdiri sendiri terlepas dari bagian yang lain. Satuan dapat berwujud kalimat faktual sederhana, misalnya: ”Responden menunjukkan bahwa ia menghabiskan sekitar sepuluh jam seminggu untuk melakukan perjalanan keliling dari satu sekolah ke sekolah lain sebagai pelaksanaan peranannya selaku guru lepas di beberapa sekolah”. Selain itu satuan dapat pula berupa paragraf penuh. Satuan ditemukan dalam catatan pengamatan, wawancara, dokumen, laporan dan sumber lainnya. Agar satuan-satuan tersebut mudah diidentifikasi perlu dimasukkan ke dalam kartu indeks dengan susunan satuan yang dapat dipahami oleh orang lain.[8]
c.       Kategorisasi
Kategorisasi disusun berdasarkan kriteria tertentu. Mengkategorisasikan kejadian-kejadian  mungkin saja mulai dari berdasarkan namanya, fungsinya atau kriteria yang lain. Pada tahap kategorisasi peneliti sudah mulai melangkah mencari ciri-ciri setiap kategori.[9]
Pada tahap ini peneliti bukan sekedar memperbandingkan atas pertimbangan rasa-rasanya mirip atau sepertinya mirip, melainkan  pada ada tidaknya muncul ciri berdasarkan kategori. Dalam hal ini ciri jangan didudukkan sebagai kriteria, melainkan ciri didudukkan tentatif, artinya pada waktu hendak memasukkan kejadian pada kategori berdasarkan cirinya, sekaligus diuji apakah ciri bagi setiap kategori sudah tepat.
d.      Penafsiran /Pemaknaan Data
Membuat terjemah berarti upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar dan sebagainya. Pada penafsiran, peneliti tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakangnya, konsteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan pada kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Memberi makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi.
Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia: indriawinya, daya pikirnya dan akal budinya. Di balik yang tersajikan bagi ekstrapolasi terbatas dalam arti empirisk logik, sedangkan pada pemaknaan menjangkau yang etik maupun yang transendental. Dari sesuatu yang muncul sebagai empiris dicoba dicari kesamaan, kemiripan, kesejajaran dalam arti individual, pola, proses, latar belakang, arah dinamika dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan lainnya.[10]
Dalam langkah kategorisari dilanjutkan dengan langkah menjadikan ciri kategori menjadi eksplisit, peneliti sekaligus mulai berupaya untuk mengintegrasikan kategori-kategori yang dibuatnya. Menafsirkan dan memberi makna hubungan antar kategori sehingga hubungan antar kategori menjadi semakin jelas. Itu berarti telah tersusun atribut-atribut teori.
e.       Perumusan Teori
Perumusan teori dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya.[11]
Jika hal itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat mempublikasikan hasil penelitiannya.

KESIMPULAN
Metode analisis pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi, mengolah pesan suatu alat untuk mnegobservasi dan menganalisis prilaku komunikasiyang terbuka dari komunikator yang dipilih. Kata”analisis” berasal dari prefik (awalan) ”ana” yang berarti “above” (diatas). Dan akar kata Yunani “Iysis” yang berarti “tobreak up or dissolve” atau memilah-milah. Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.
Penelitian untuk membuktikan atau menemukan sebuah kebenaran dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu kantitatif maupun kualitatif. Kebenaran yang di peroleh dari dua pendekatan tersebut memiliki ukuran dan sifat  yang berbeda. Pendekatan kuantitatif lebih menitikberatkan pada frekwensi tinggi (data-data numerik) sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada pencarian esensi makna dari suatu fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik  dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial sedangkan hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.


[1] Saipul Annur, Metodologi Penelitian Pendidikan, Palembang :Raffah Press, 2011. Hal. 121
[2]Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Hal. 187
[3] Sayekti. Metodologi Penelitian Kualitatif (Diktat). Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta: 2001, hal 103
[4] Loc.Cit, Hal. 124
[5] Subana. Dasar-dasar penelitian ilmiah, Bandung: Pustaka setia, 2009. Hal 21
[6] Saipul Annur. Loc. Cit. hal 124
[7] Mohammad Ali. Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi., Bandung: Angkasa,1982. Hal 85
[8] Ibid.
[9] Ibid
[10] Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta, 2009. Hal 98
[11] Ibid
Baca Selengkapnya... »»  
Hubungan Pendidikan Islam dengan Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi

Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat, maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:
  1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah.
  2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu.
  3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsur yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
  1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
  2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
  3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
  4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.[1]

Dilihat dari kerangka keilmuan, sosiologi memiliki sudut pandang, dan metode serta susunan yang tertentu. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa obyek telaah sosiologi adalah manusia dalam kelompok, dengan memandang hakekat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sosiologi pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan.[2]

Perspektif sosiologi
Dalam mengkaji suatu masyarakat, sosiologi mengunakan sejumlah asumsi yang disebut sebagai perspektif, pendekatan, atau kadang disebut paradigma. Ketiga-tiganya merupakan cara sosiologi dalam mempelajari masyakat. Memang, di antara perspektif tersebut berbeda, bahkan kadang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Namun, sekali lagi perspektif ini hanya merupakan cara pendekatan untuk mengkaji masyarakat. Beberapa literatur perspektif ini tak jarang disebut sebagai teori, misalnya teori konflik, teori fungsionalisme, teori interaksionalisme, dan lain sebagainya dengan masing-masing tokoh pendukungnya Beberapa perspektif dalam sosiologi, antara lain Perspektif Evolusi, Perspektif Interaksionis, Perspektif Fungsional, Perspektif Tatanan, dan Perspektif Konflik.[3]
a.    Perspektif Evolusi
Perpektif evolusi merupakan pandangan teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Pandangan seperti ini didasarkan pada karya Auguste Comte, Herbert Spencer, dan Ibnu Khaldun. Para tokoh ini melihat pada pola perubahan dalam masyarakat. Mereka mengkaji masyarakat dengan menitikberatkan pada evolusinya.
b.   Perspektif Interaksionis
Pandangan ini mengkaji masyarakat dari interaksi simbolik yang terjadi di antara individu dan kelompok masyarakat. Tokoh yang menganut pandangan interaksionis misalnya G.H Mead dan C. H Cooley. Mereka berpendapat bahwa interaksi manusia berlangsung melalui serangkaian simbol yang mencakup gerakan, tulisan, ucapan, gerakan tubuh, dan lain sebagainya. Pandangan ini lebih mengarah pada studi individual atau kelompok kecil dalam suatu masyarakat, bukan pada kelompok-kelompok besar atau institusi sosial.
c.    Perspektif Fungsionan
Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah jaringan teroganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Institusi sosial dalam masyarkaat mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling mendukung. Masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem stabil yang cenderung mengarah pada keseimbangan dan mejaga keharmonisan sistem. Pandangan ini banyak dianut intelektual Orde Baru dalam mendukung kekuasaan pemerintah.
d.   Perspektif Konflik
Pendekatan ini terutama didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Teori konflik melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di atara kelompok atau kelas. Dalam pandangan teori konflik masyarakat diakuasai oleh sebagian kelompok atau orang yang mempunyai kekuasaan dominan. Selain Marx dan Hegel tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser. [4]

John Dewey mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.[5]
Durkheim berpendirian bahwa pemikiran bergantung pada bahasa dan bahasa bergantung pada masyarakat. Jadi masyarakat menghasilkan instrumentalitas dasar bagi pemikiran.  Sebagai tambahan pula, dia berpendapat bahwa kategori-kategori fundamental bagi kognisi hanyalah kategori-kategori sosial sendiri yang telah di transformasikan dan telah disaring. Demikian pula halnya Dewey menganggap  individu sebagai proses perkembangan. Ia tertarik dengan proses sosial yang disajikan oleh revolusi industry. Diperlukan adanya kurikulum baru yang cocok dengan praktik seni dan disiplin dalam kehidupan industri. Jika manusia ingin hidup dalam masyarakat maka ia harus belajar sebagai seorang warga negara yang tumbuh di dalam sebuah interaksi dan hubungan yang kompleks. Melalui pendidikan individu, mereka diajarkan untuk membayangkan apa yang mengikuti dirinya dalam sebuah proses yang menghasilkan batasan-batasan perkembangan. Pendidikan adalah instrument penyesuaian sosial dan instrument politik serta rekonstruksi moral, sama seperti pemikiran yang merupakan instrument penyesuaian diri di dunia.[6]
Sosialisasi juga merupakan tahapan penting dalam pendidikan. Seorang manusia yang tidak bersosialisasi, tidak akan mencapai perkembangan yang sama dengan manusia sosialis. Berger mendefinisikan sosialisasi dengan proses seorang anak untuk menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Kondisi sosial budaya juga merupakan faktor penting dalam pendidikan. Karena semakin beradab kondisi sosial di suatu daerah akan semakin memudahkan proses pendidikan. Durkeim, mengemukakan bahwa bahasa adalah proses pendidikan yang paling penting. Bahasa adalah hasil cipta manusia. Bahasa juga merupakan kunci sumber informasi. Dewey mengartikan pendidikan adalah suatu tranmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses modifikasi watak, hingga menjadi suatu keadaan pribadi.[7]

Hubungan pendidikan Islam  dengan masyarakat dalam perspektif sosiologi
Indikasi globalnya ajaran al-Quran yang membuktikan bahwa Islam tetap up to date, aktual sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia di dunia, dapat dipelajari dari beberapa pernyataan dalam al-Quran sendiri. Pertama, panggilan Allah kepada seluruh ummat manusia (yaa ayyuhan naasu) adalah bukti autentik dalam kitab suci Islam bahwa ajaran Islam berlaku universal untuk semua manusia. Meskipun al-Quran diturunkan di tanah Arab, nabi Muhammad juga berbangsa Arab, tetapi tidak ada satupun panggilan Allah dalam ayat al-Quran yang ditujukan khusus untuk orang Arab (tidak ada ayat yang diawali dengan kalimat yaa ayyuha al-“arabiyyu). Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa al-Quran sebagai sumber pedoman utama ajaran Islam, diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia hudan li al-naasi). Berbeda dengan pernyataan al-Kitab atau Bibel bagi kaum Nasrani yang panggilannya khusus ditujukan hanya untuk “domba-domba Israil”. Kedua, perintah Allah dalam al-Quran menyangkut ibadah shalat, cara wudhu dan cara berpakaian, sama sekali tidak rinci-melainkan global dan universal. luasnya ajaran Islam. Islam mengajarkan agar umat menyayangi sesama, termasuk binatang sekalipun. Karena itu orang yang menyiksa binatang peliharaan akan mendapat siksa, dan umat Islam diajarkan supaya menyembelih hewan dengan cara yang baik, memelihara tumbuhan serta lingkungan agar tidak rusak. Begitu luas dan mulianya ajaran Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al’alamin).[8]
Ibnu Khaldun memandang ilmu dan pendidikan sebagai satu aktifitas yang semata–mata bersifat pemikiran dan perenungan serta jauh dari aspek pragmatis dalam kehidupan. Ia memandang ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya didalam tahapan kebudayaan, akal mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang penting baginya di dalam kehidupannya yang sederhana pada periode pertama pembentukan masyarakat, lalu lahirlah ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan masa kemudian lahir pula pendidikan sebagai akibat adanya kesenangan manusia dalam memahami dan mendalami pegetahuan.[9]
Sebagai makluk sosial, manusia dalam kehidupannya membutuhkan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut terjadi karena manusia mengajarkan manusia yang lain, ketika sesuatu yang akan dilakukan tidak dapat dilakukan seorang diri. Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[10]
Interaksi antara manusia satu dengan lainnya selalu mempunyai motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masing-masing. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat bernilai edukatif apabila interaksi yang dilakukan dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai interaksi edukatif. Dengan konsep di atas, memunculkan istilah guru di satu pihak dan anak didik di lain pihak. Keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas dan tanggung jawab yang berbeda, namun bersama-sama mencapai tujuan.[11]
Manusia menjalani kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial. Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.[12]
            Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertingga.[13]
Shalat berjamaah secara sosiologis merupakan manifestasi dari kebersamaan, solidaritas dan integritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat manifestasi dari solidaritas sosial, rasa kemanusiaan yang adil dan bertanggung jawab, kepedulian-sense of crisis, dan berempati terhadap penderitaan atau kesusahan orang lain. Berpuasa merupakan upaya pengendalian diri dari tindakan yang melampaui batas dan demikian pula pada aspek ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Pada rukun iman, misalnya iman kepada Allah akan memberikan kontrol terhadap seorang muslim dalam kehidupan sosial masyarakat. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara mahkluk yang lain ciptaan allah SWT.salah satu kelebihan yang di miliki oleh manusia ialah manusia diberi akal pikiran dan nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat, jin dan binatang. Dengan akal inilah diharapkan manusia bisa menggelola bumi ini dengan baik, untuk melakukan tugas yang berat tersebut maka manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menyebabkan manusia menjadi objek pendidikan,atau mahluk yang membutuhkan pendidikan sebagai mana yang terdapat dalam Alquran. Dalam surah Al-baqorah ayat 31-32 yang artinya: Dan ingatlah ketika allah berfirman kepada malaikat “aku hendak menjadi kan kholifah di bumi “mereka berkata apakah engkau hendak menjadikan orang orang perusak dan menumpahkan darah di muka bumi,sedangkan kami selalu bertasbih memuji engkau”dia berfirman  “sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui . Dan dia mengajarkan nama –nama benda, kemudian dia perlihat kan kepada para malaikat “kata kan lah jika kamu orang  yang benar.(Al-Baqorah ayat 31-32 ).[14]
Dari ayat tersebut kita memperoleh  pengertian bahwa manusia adalah  mahluk yang bisa dididik dan diajar. Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi. Kewajiban untuk bersosialisasi inilah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Makhluk lain tidak pernah berpikir untuk membuat hidupnya lebih baik dari sebelumnya. Kainginan untuk berkembangng menuju arah yang lebih baik inilah yang kemudian menyebabkan manusia memerlukan pendidikan. Manusia adalah makhluk yang harus hidup bermasyarakat untuk kelangsungan hidupnya, baik yang menyangkut pengembangan pikiran, perasaan dan tindakannya serta agar dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan dalam lingkungan manusia. Interaksi antar manusia tumbuh sebagai suatu keharusan oleh karena kondisi kemanusiaannya seperti; kebutuhan biologis dan psikologis. Kondisi manusia tersebut menuntut adanya kerjasama dengan manusia lain. Kodrat manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial, menyebabkan timbulnya bentuk-bentuk organisasi sosial yang berdiri atas landasan simbiotik-sinergistik, saling memberi manfaat atas dasar tingkah laku fisik, bersifat otomatis dan merupakan komunikasi sosial.[15]


Referensi

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, bandung: 2005
Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005)
Dwi Nugroho Hidayanto, Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, (Jakarta: Transwacana Jakarta, 2007).
M. Ihsanudin,  2009, Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey, http://indekos.tripod.com/id4.html//
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2005
Paul B. Horton, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 2006
Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia, UPI, Bandung, 2009.
Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000).
Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Bulan Bintang, Jakarta: 1980



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. hlm.5
[2] Ahmad Hufad, Teori Sosiologi Pendidikan dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bag I Ilmu Pendidikan Teoritis, Imperial Bhakti Utama, Bandung, 2007, halm. 221-223
[3] Elly M. Stiadi dan Usaman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group. 2011. Hlm.25
[4] Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, Refika Aditama, Bandung, 2009, halm. 39
[5] Umar Tirtaraharja, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000), halm. 194.
[7] Opcit. Hlm 201
[8] Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia, UPI, Bandung, 2009, halm. 8
[9] Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, Hlm. 535
[10] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, halm. 47
[11] Paul B. Horton, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 2006, Halm. 99
[12] M. Ihsanudin,  2009, Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey, http://indekos.tripod.com/id4.html//
[14] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hal 7.
[15] Dwi Nugroho Hidayanto, Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, (Jakarta: Transwacana Jakarta, 2007).
Baca Selengkapnya... »»  
PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat muncul dari sebuah pemikiran dan semua ilmu memiliki filsafat tersendiri dan pemikiran itu sendiri diragukan oleh sang pemikir jika belum ditemukan kebenarannya, untuk mengatakan itu benar perlu menuangkan pemikiran sehingga sang pemikir meyakininya apa yang ia temukan.
Sejarah dan Filsafat Islam perlu kita kaji sedetail mungkin, karena ini adalah sebahagian dari ilmu yang mayoritas berkembang lambat laun dan banyak orang belum memahami tentang sejarah dan perkembangan filsafat dalam Islam, karena sejarah dan filsafat Islam adalah satu dari sekian banyak  ilmu yang sukar didalami.
Meski pada umumnya Filsafat Islam dipercayai sebagai berawal dari Al-Kindi (801-873), tetapi ada catatan bahwa orang Islam yang pertama yang disebut sebagai filosof adalah Iransyahri. Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam sejarah Islam tentu terkait dengan kenyataan bahwa Al-Kindi lah orang yang pertama yang berusaha merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam. Dia memang dikenal sebagai orang Mu’Tazili (pengikut Mazhab Rasionalistik dalam teologi Islam), karena posisinya sebagai filosof awal Islam dan dialah yang menulis buku (Al-Falasafah Au-l-‘Ula). Dalam buku ini Al-Kindi menunjukkan bahwa concern (Filsafat Pertama) atau Metafisika, sesungguhnya sama dengan teologi, yakni tentang Tuhan.
a.    Filosofis Al-Kindi  pada tahun (801-873). Pada masa awal Islam filsafat ini berkembang secara perlahan-lahan, hingga dapat mempengaruhi beberapa tokoh Islam pada masa itu, sebagai bukti bahwa disini mulanya filsafat Islam, Al-Kindi pernah menulis sebuah buku yang berjudul (Al-Falasafah Au-l-‘Ula).
b.    Filosofis Al-Farabi  pada Tahun (870-950).  Pada masa ini Al-Farabi dikenal sebagai tokoh filosofi Islam yang mengambil teori berfilsafat dari Al-Kindi dan dikembangkan melalui karya karyanya.
c.    Filosofis Ibnu Sina  pada tahun (980-1037). Pada masa ini Ilmu filsafat Islam dikembangkan oleh Ibnu Sina menjadi berbagai demensi kedesiplinan Ilmu dalam filsafat Islam, sehingga Ibnu Sina berhak mendapat julukan sebagai Filosofis Peripatetik muslim orang barat menyebutkan Par Excellennce, padahal pada masa itu Ibnu Sina baru berusia sepuluh Tahun, dan dan ia mahir dalam mendalami ilmu kedokteran disaat usianya enam belas tahun, Ibnu Sina pernah berguru kepada Al-Farabi dalam ilmu Filsafat, sebagaimana yang tercantum dalam autobiografinya; ia terang-terangan mengakui berutang budi kepada Al-Farabi, dan ada juga pendapat Ibnu Sina yang bertentangan dengan pendapat Al-Farabi tentang filsafat. Kemudian berbagai masalah dalam filsafat Yunani mendapat kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Dan setelah itu barulah muncul para tokoh-tokoh filsafat dalam Islam diantaranya adalah tokoh Filsafat dari Negara Andalusia, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufa’il dan Sebagainya.
Sejarah dan perkembangan filsafat dalam teologi Islam secara umum yakni hanya menyebutkan tiga tokoh Filosofi dalam Islam, karena ketiga tokoh ini orang yang pertama sekali mengembangkan ilmu filsafat dalam Islam sesuai dengan perkembangannya dan ketiga tokoh filosofi ini dalam mengembangkan Ilmu Filsafatnya tidak terlepas  dari teori Aristotelian dan Plato yang disebut dengan Neo-Platonik. Pengikut Plato dikenal dengan sebutan Neo-Platonisme dan didirikan oleh seorang Mesir, Ammonius Saccas, tokoh aliran Neo-Platonisme adalah Plato Aliran ini menjadi pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam.
Perkembangam filsafat dalam Islam yang sangat terkenal dalam dunia pendidikan berkembang pada dua wilayah yaitu wiliyah  Islam Timur dan wilayah Islam Barat, dari Islam Timur dipromotori oleh  filoshofy: Al-Kindi, Al-Razi, Al-farabi, Ikhwan Al-shafa, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Suhrawadi Al-Maqthul. Dari Islam barat : Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, untuk kejelasanya silahkan baca buku Filsafat Islam karangan K-H. Musthofa. .Cikal bakal sejarah perkembangan filsafat Islam lahir dari para ahli pikir (para filoshofy), dan hasil pemikiran mereka patut diacung jempol, mayoritas karangan para filsofy muslim menjadi pijakan awal bagi para tokoh-tokoh islam zaman sekarang.oleh karena demikian kontribusi para filshofy muslim zaman dahulu ,untuk bangsa sangat baik kususnya dalam dunia pendidikan.
Dalam Perkembangan Filsafat banyak Aliran aliran  yang muncul, yang mana aliran ini muncul menurut pemikiran masing-masing tokoh filosofi dan aliran ini perlu penulis sebutkan sekaligus dengan sang pencetusnya.
1.    Aliran Neo Platonik yang dicetus oleh Aristatoles berkembang pada Abad ke Empat sebelum Masehi.
2.    Aliran Peripatetisme Aliran ini tidak jauh beda dengan aliran Neo Platonik karena teori yang digunakan dalam pengembangannya lebih banyak memakai dari teori Aristatolian. Dan Aliran ini dikembangkan oleh Tiga Tokoh Filosofi Muslim yaitu Al-Kindi, Al-farabi dan Ibnu Sina, muncul dan berkembang pada tahun (801-1037).
3.    Aliran Teologi dan Mistisisme, Aliran ini lebih mendekati kepada ‘irfan’ (tasawuf), Aliran ini dicetus oleh Al-Ghazali, berkembang pada tahun 105-1111.
4.    Aliran Peripatetisme Murni, aliran ini lebih kepada mengkritisi aliran yang dikembangkan oleh Al-kindi, Al-farabi dan Ibnu sina. Pencetusnya adalah Ibnu Rusdy, Aliran ini berkembang pada tahun 1126-1198.
5.    Aliran Filsafat Mistikal, Aliran ini dicetus oleh Fakhrudin Ar-Razi, berkembang pada tahun 1126-1209 dan masih banyak  Aliran lain yang tidak penulis sebutkan, Aliran aliran ini berkembang terus  hingga kepada Aliran Hikmah Muta’aliyah yang dikembangkan oleh Mulla Shadra pada tahun 1571-1640.
Setelah kita melihat perkembangan aliran dalam Filsafat, lalu bagaimana tentang perkembangan aliran dalam Filsafat Islam, Dalam filsafat Islam ada berbagai Aliran yang berkembang sebagaimana yang termaktub dalam buku “Buku Saku Filsafat Islam” yang ditulis oleh Haidir Bagir.
Ada sedikitnya lima aliran dalam filsafat Islam: Pertama, Teologi Dialektik (Ilmu Al-Kalam), Kedua, Peripatetisme (Masysya’iyyah), Ketiga, Iluminisme (Isyraqiyyah), Keempat, Sufisme (Tasawuf), Kelima, Filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah.
Dari berbagai macam aliran dalam Filsafat atau Filsafat Islam penulis menyimpulkan bahwa dalam aliran-aliran tersebut ada kemiripan diantara satu dengan yang lain, yang berbeda adalah dalam metode pengembangannya saja, seperti Aristatoles memakai metode Epistemologi dan bersifat Deduktif-Silogistik, yakni prosedur untuk mendapatkan kesimpulan dari mempersandingkan dua pernyataan yang sudah disepakati terlebih dulu nilai kebenarannya, sedangkan beberapa tokoh filosofi Islam juga menggunakan metode tersebut.
Baca Selengkapnya... »»  
a
s